Browser tidak support

Hari Anak Indonesia

Tulisan ini terinspirasi dari wawancara pagi di radio Elshinta Jakarta. Tanggal 23 Juli adalah diperingati hari Anak Indonesia. Menilik permasalahan hingga saat ini belum juga usai, bahkan semakin menjadi. Anak seolah ditakdirkan menjadi korban dalam pelbagai kejadian. Undang-undang perlindungan anak seolah belum bisa menjadi tameng membuat kekebalan hukum, terakhir kasus ”perjudian” yang melibatkan 10 orang anak. Penjaminan terhadap pendidikan juga memprihatinkan seolah masih ada perlakuan yang deskriminasi terhadap anak didik. ”Orang miskin dilarang sekolah”, sepertinya belum bisa mewakili permasalahan yang dihadirkan untuk pendidikan di Indonesia.

Tiga point penting yang menjadi perhatian dimasa kini, anak-anak dihadapkan dengan permasalahan. Kekerasan fisik, kekerasan psikologis dan kekerasan seksual adalah permasalahan yang tidak hentinya muncul kepermukaan. Secara manusiawi kekerasan fisik seolah ”membinatangkan” sikap manusia. Tidak terlepas dengan permasalahan yang melatar belakangi terjadinya kekerasan fisik. Faktor ekonomi seolah seolah dipandang sebagai ”center point” timbulnya berbagai macam permasalahan walaupun tidak sepenuhnya benar. Kekuatan iman yang dapat digunakan sebagai benteng kenyataannya dilupakan, tergerus kenikmatan yang semu yang nyata lebih tampak didepan mata.

Lagi-lagi faktor ekonomi menghantui dalam dunia pendidikan, hak setiap warga negara mendapatkan pendidikan sirna lantaran ”hak” itu harus dibayar mahal. Iklan pendidikan gratis ”9 tahun belajar” tidak sesempurna yang disampaikan. Walaupun sebenarnya pendidikan adalah ”long life education”, kita menuntut yang telah digariskan pemerintah wajib ”9 tahun belajar”. Berapa banyak anak-anak yang tidak mendapatkan pendidikan karena mahalnya ”bangku sekolahan”. Ada permasalahan lain lagi yang tersisi dalam dunia pendidikan, ”pendidikan khusus”. Inklusif, tentu kita jarang mendengar dibahas diberbagai forum dan kalau ada jarang yang aplikasi langsung ke lapangan. Dan tahukah, anak-anak dengan kebutuhan khusus menurut pemikiran penulis akan semakin meningkat jumlahnya!!!. Lantas apa yang menjadi penyebabnya?. Jawabannya ada dibidang medis dan kekuasaan Allah. Mereka adalah korban obat-obatan, pernikahan yang tidak diinginkan (faktor fisik dan psikologis), alkohol, rokok dan lain-lain. Pelajaran demi pelajaran telah Allah berikan setiap manusia lewat ayat-ayat fakta yang ada dalam kehidupan tidak dipahami manusia, seolah manusia menantang untuk ”dibinasakan”.

Lantas siapa yang bertanggung jawab?, jawabannya adalah pemerintah, masyarakat dan keluarga. Pemerintah memiliki wewenang dalam menghadirkan aturan yang berdasarkan sesuai ketetapan yang sesuai dengan kemaslahatan manusia dan alam. Penegakkan aturan pun faktor yang menentukan keberhasilan. Masyarakat adalah komponen lingkungan psikologis dalam pembentukan perilaku anak. Diamana anak tumbuh, ”peer group” adalah cerminan masa depan. Sedangkan keluarga merupakan sisi terpenting yang menyelamatkan, mengisolasi anak-anak dari dampak negatif.

Hari anak nasional, anak adalah cerminan masa depan bangsa. Hari anak nasional tahun ini mengangkat tema Anak Indonesia Kreatif, Inovatif dan Tangguh. Kalau boleh kritik terhadap tema ini, tidak mencerminkan nilai-nilai spritual. Semoga masih ada generasi yang menggantikan, bukan tergantikan.

comment 0 komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Atas Kunjungan Anda dan Silahkan Tinggalkan Komentar

Delete this element to display blogger navbar

 
© 2010 Psikologi Islam UMS is proudly powered by Blogger