By: Ridho Islami
(Mahasiswa psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta)
Pendahuluan
Analogi judul diatas merupakan sebuah refleksi harapan untuk menjadi seorang pengasuh yang mempunyai nilai pendidikan islami. Semakin padi itu dipupuk dengan teratur maka akan menghasilkan tanaman padi yang berkualitas dan semakin merunduk (menunjukan hasil bahwa padi itu sudah siap untuk dipanen). Orang tua sebagai sosialitation agen nilai-nilai karakter anak dalam keluarga merupakan pendidik utama sebelum pendidik yang lain. Tidak jarang orang tua yang gagal dalam menanamkan nilai-nilai karakter anak yang baik selalu merasakan kesedihan di masa tuanya. Maraknya pemberitaan di media-media tentang kisah seorang anak yang rela membunuh orang tuanya dan sikap seorang anak yang lari dari rumah karena selalu menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga menjadi sebuah pertanyaan yang bisa diarahkan kepada orang tua. Bagaimana pola asuh yang di terapkan pada anak?.
Pola asuh orang tua merupakan peletak dasar batu perkembangan anak. Banyak dari para pakar pendidik anak, guru, maupun orang tua lebih cenderung memilih cara pengasuhan menurut versi barat. Karakter anak akan terbentuk sesuai dengan siapa dan dimana dia dibesarkan. Versi barat mengajarkan kepada umat manusia untuk mendidik anak agar mampu menjadi orang yang hanya bisa menjawab tantangan krisis hidup. Dengan demikian berbagai usaha untuk mewujudkan semua harapan itu dilakukan oleh orang tua seperti memaksa anak untuk bisa dalam suatu bidang tertentu, dan bahkan menghukum anak dengan hukuman yang berat jika tidak mampu mencapai semua yang diinginkan oleh orang tua. Hasil pola asuh tersebut akan mudah membuat kehidupan berkeluarga menjadi tidak harmonis. Misalnya banyak anak yang menjadi penakut, rendah diri, dan merasa kurang dihargai.
Imam al ghazali mengungkapkan, “bila anak sudah tidak dipedulikan sejak awal masa berkembangnya, maka karakter yang terbentuk adalah akhlak dan etika yang buruk, anak yang cenderung penakut, dan merasa dirinya kurang berharga. Semua itu bisa dihindari dengan sebaik-baiknya,”. Tentunya hukuman yang diberikan kepada anak hendaknya berisifat memupuk kepribadiannya untuk berkembang bukan untuk menjatuhkan anak. Dengan demikian, mendidik anak dengan hukuman berarti memberikan pengajaran kepada anak supaya kepribadiannya bisa tumbuh cepat dewasa. Hal ini menunjukan dibutuhkan pemahaman bagi orang tua untuk memahami sifat-sifat hukuman yang layak diberikan sesuai dengan tingkat pelanggaran dan perangai dasar anak.
Hukuman sebagai pendidikan
Jean Piaget pakar psikologi perkembangan banyak memerhatikan perkembangan anak-anak hingga usia tujuh tahun. Ia memandang bahwa pada setiap anak terdapat dua factor yaitu pengenalan dan perasaan. Keduanya berguna untuk penyesuaian ruhani terhadap lingkungan. Katanya pula bahwa penyesuaian ruhani anak terdapat fungsi pikiran. Aspek ruhani yang mengikat fungsi pikir dan lingkungan sekitar mendidik setiap anak peka terhadap setiap setimulus yang diterimanya dari luar. Seperti ungkapan imam al ghazali bahwa hati anak yang masih suci ibarat permata, masih lugu dan polos, sama sekali belum terdapat ukiran dan lukisan. Hati seorang anak masih sangat mungkin untuk dibentuk dan diukur, dan akan cenderung terhadap apa saja yang dibiasakan padanya. Apabila hatinya diajarkan dan dibiasakan dengan kebaikan, maka dia akan tumbuh bersama kebaikan tersebut, dan niscaya dia akan hidup bahagia baik didunia dan akhirat.”
Keluguan dan kepolosan anak hendaknya menjadikan orang tua untuk berpikir terlebih dahulu ketika akan memberikan hukuman. Dunia anak amat sangat berbeda dengan dunia orang dewasa. Setiap perilaku yang dilakukan anak merupakan wujud dari rasa keinginan tahu atau sikap penasaran terhadap sesuatu. Oleh karena itu merupakan sebuah kewajaran jika seorang anak selalu mengalami kesalahan dalam proses pembelajaran hidupnya. Demikian juga para orang tua seharusnya tidak berpikir menyamakan permasalahan yang dilakukan oleh anak dengan permasalahan dalam hidupnya. Jika dipikir dengan pikiran yang tenang setiap kesalahan- kesalahan yang dilakukan oleh anak merupakan hal yang sepele dan itu semua bisa diatasi dengan sikap kesabaran. Oleh karena itu sikap pemberian hukum hendakanya bersifat edukasi.
Prinsip hukuman dalam pengasuhan anak menurut islam merupakan proses pendewasaan anak. Anak yang tidak mampu dikendalikan oleh orang tua, maka prinsip hukuman dapat diberlakukan kepadanya dengan mengacu pada kriteria kesalahan yang dilakukan anak. Ulama ahli fiqih memberikan penjelasan tentang hukuman pada anak, “ hukuman anak bersifat mendidik, bukan atas dasar kriminalitas, karena seorang anak masih dalam proses pendidikan. Anak kecil yang masih berpikir jernih dan belom mukalaf bukanlah anak yang layak melakukan kriminalitas. Akan tetapi hanyalah kesalahan dalam mengambil sikap. Prinsip memberi hukuman kepada anak merupakan langkah yang paling terkahir setelah melalui beberapa serangkaian diantaranya melalui komunikasi - kelemah lembutan,- nasehat baru sikap yang terakhir adalah pemberian hukuman. Hukuman diberikan sebagai penegasan kepada anak bahwa persoalan yang di hadapi adalah serius.
Hukuman Non Fisik dan Fisik
Pemeberian hukuman non fisik merupakan hukuman yang memberikan pengertian kepada anak dalam taraf afektif. Imam Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan, bahwa ada tiga fase interaksi dengan anak, “ Tujuh tahun pertama, perlakukan ia seperti raja. Tujuh tahun kedua perlakukanlah ia seperti tawanan perang dalam kedisiplinan, tujuh tahun ketiga dan seterusnya perlakukanlah ia seperti sahabat dan teman. Para pakar psikologi perkembangan juga mernyimpulkan bahwa usia 7-12 tahun itu usia emas, golden age. Saat itulah fase pembentukan sikap, perilaku dan penanaman nilai yang penting. Tauladan kita Rosulullah, memerintahkan anak untuk diajarkan sholat usia 7 tahun. Karena 0-7 tahun itu masa pembentukan tumbuh kembang otak menyerap informasi. Lalu mulai 7 tahun berikutnya penanaman sikap disiplin.
Pada tujuh tahun pertama merupakan masa awal pembentukan karakter anak. Setiap torehan sikap yang dilakukan oleh orang tua kepada anak akan mudah diinterpretasikan olehnya. Oleh karena itu pola pengasuhan diibaratkan seperti perlakuan seseorang kepada raja. Pemberian hukuman dalam tahap ini bisa dibisa diberikan lewat.
- Dengan cara lembah lembut pada anak dan kasih sayang.
Sikap lemah lembut dan kasih sayang pada anak akan mudah membekas dalam dirinya karena masa-masa anak merupakan masa periodesasi belajar dengan modeling (peniruan dengan orang lain). Seorang anak di awal usia tujuh tahun sangat membutuhkan dekapan rasa kasih sayang dari orang tua. jika anak dibiasakan dengan sikap orang tua yang agresif, maka hal itu sama saja mendidik mereka untuk bersikap agresif.
- Dengan cara mendiamkan
Pemberian hukuman dengan cara mendiamkan merupakan metode yang di ajarkan rosululloh kepada umatnya ketika ada diantara salah satu saudara yang melakukan kesalahan. Dalam hal ini sikap mendiamkan anak tidak lebih dari tiga hari. Akan tetapi dapat dilakukan oleh orang tua dengan dua cara yaitu mendiamkan anak dengan beberapa jam saja dan segera merespon anak jika telah mengakui kesalahannya. Mendiamkan diri dengan anak bertujuan untuk melatih kedewasaan anak dalam berpikir tentang apa yang telah dilakukannya.
- Mengisolasikan anak
Para pakar pendidikan berpendapat bahwa hukuman dengan mengisolasikan anak yang berumur tiga hingga enam tahun sangat membantu proses pendewasaan anak. Dalam prinsip mengisolasikan anak hendaknya anak di isolasikan dalam ruangan yang tidak tertutup, tidak gelap dan diberikan kebebasan untuk bergerak. Hal ini dikarenakan kondisi anak dalam keadaan emosi yang tidak menentu sehingga anak akan mudah memunculkan sikap kebencian kepada orang tua.
Hukuman diatas merupakan bagian dari sifat-sifat hukuman yang bersifat non fisik yang mendorong si anak untuk mampu berfikir tentang kesalahannya sendiri. Dengan adanya proses kesadaran yang ada pada anak, maka anak akan cepat tumbuh dewasa dalam menyikapi setiap persoalan hidupnya. Proses penyadaran diri anak merupakan awal dari sebuah keputusan yang akan diambil oleh orang tua dalam proses pemupukan karakter anak.
Orang tua yang selalu menginginkan perubahan pada anak secara instan akan cenderung berakibat pada pemberian hukuman fisik pada anak. Dalam islam pemberian hukuman fisik kepada anak dilakukan setelah melalui beberapa tahap. Tahapan yang pertama adalah proses pemahaman orang tua tentang kesalahan anak. Pada tahap ini orang tua akan menyadari bahwa setiap kesalahan yang dilakukan oleh anak merupakan kesalahan persepsi dari anak dalam mengambil suatu keputusan. Karena seorang anak dalam di awal hidupnya merupakan proses pembelajaran. Kemudian tahap kedua adalah pemberian hukuman fisik kepada anak.
Proses pemberian hukuman fisik melalui pemahaman orang tua akan mengajarkan kepada orang tua untuk tidak cepat memberikan hukuman kepada anak. Kondisi emosi anak yang mudah diekspresikan dengan lunak membuat proses peniruan terhadapa reaksi yang diberikan dari orang tua mudah dipelajari. Ibnu khaldun dalam moqodimahnya menetapkan, bahwa sikap keras yang berelebihan terhadap anak berarti membiasakan anak bersifat penakut, lemah, dan lari dari tugas-tugas tanggung jawab di dunia ini. Hal ini juga diperkuat oleh pakar pendidikan islam seperti Ibnu Sina dan al-Abdari, mereka semua malarang menggunakan metode kekerasan atau memukul setelah pemberian peringatan dilakukan terlebih dahulu . phukuman fisik ataiu kekerasan hanya boleh dilakukan kecuali dalam keadaan darurat sebagai penegasan agar anak tidak banyak meremehkan.
Perlu diingat kembali, bahwa hukuman yang diberikan anak hendaknya disesuaikan dengan kesalahan yang dilakukan. Terjadinya kesenjangan antara pemberian hukuman dengan kesalahan yang dilakukan oleh anak akan berakibat pada sikap ketidakadilan orang tua terhadap anak sehingga anak akan mudah melarikan diri dari orang tua dan mengaggapnya sebagai sebuah”monster”yang menakutkan. Namun juga sebaliknya, pemberian hukuman yang nilainya lebih ringan dari kesalahan yang dilakukan anak akan berakibat pada sikap anak meremehkan orang tua. Oleh karena itu dibutuhkan pemahaman kesalahan dalam memutuskan hukuman sehingga terjadi keseimbangan dalam pola asuh.
Islam memberikan solusi kepada para orang tua maupun pendidik untuk menerapkan hukuman fisik pada anak. Sesuai dengan sabda Rosululloh saw bahwasanya anak yang berhak mendapatkan hukuman adalah anak yang sudah mencapai tahap tujuh tahun kedua dari usianya. Ali bin abi thalib menegaskan bahwa pada tahap ini pola didik yang diberikan oleh orang tua layaknya seperti mendidik calon-calon tentara. Namun prinisip pendidikan yang diberikan tidak sama seperti para tentara yang lebih cenderung bersifat keras dan memaksa.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian hukuman pukul adalah.
1. Memukul anak tidak lebih dari sepuluh kali sebagaimana Rosululloh mengajarkan kita, “hendaklah kalian tidak memukul sesorang lebih dari sepuluh kali pukulan kecuali dalam hukuman yang telah ditetapkan oleh rosulullah.
2. Memukul dengan tidak menggunakan tenaga penuh, dengan alat yang tidak keras dan pada bagian-bagian terntentu. Para ulama sepakat bahwa pukulan yang diberikan kepada anak hendaknya tidak membuat rasa sakit dan tidak dilakukan disekitar wajah, kelamin, kepala, tulang punggung dan bokong. Pukulan bisa diarahkan pada kaki anak atao telapak tangan anak yang ukran kulitany tebal sehingga tidak merasakan rasa sakit.
3. Memukul pada tempat yang berbeda. Hal ini dilakukan agar anak tidak merasakan sakit.
4. Tidak memukul anak didepan orang banyak dan tidak disertai dengan amarah sehingga sikap harga diri anak masih bisa dirasakan oleh anak. Karena anak saat usia tersebut menunjukan sikap perasaan malu yang besar dihadapan orang-orang banayak.
Kesimpulan
Anak merupakan saham terbesar bagi orang tua baik di dunia maupun dalam sisi akhirat. Di dunia anak akan menjadi penghibur dan penentram hati orang tua demikian juga dalam sisi akhirat, anak sebagai tabungan orang tua untuk memberikan do’a kepadanya ketika mereka sudah meninggal dunia. Oleh karena itu pola asuh yang diberikan oleh orang tua sangat menentukan perkembangan karakter anak. Pada umunya masyarkat banyak yang salah memberikan pengasuhan pada anak dari segi keputusan dalam menghukum anak anak yang melakukan kesalahan. Jika anak dipupuk dengan nilai-nilai yang cenderung memaksa kehedak dan hidup dalam lingkungan keluarga yang tidak menentu rasa keharmonisan dalam rumah tangganya, maka akan melahirkan karakter anak yang tidak bisa member kenteraman hati orang tua. Bahkan sering kita jumpai statement dari orang-orang sekitar bahwa anak yang gagal dalam proses pemupukan karakter dianggap sebagai anak sampah (nauduzbillah) lalu siapakah yang akan disalahakan?.
Islam mengajarkan pada umatnya untuk sebaik-baik memberikan pelajaran kepada anak karena disitu terdapat hasil yang akan memberikan efek kepada orang-orang disekitarnya. Pola pengasuhan yang diajarkan oleh islam merupakan pola pengasuhan yang bersifat edukasi serta memupuk perkembangan karakter anak. Anak yang dipupuk dengan ajaran-ajaran islan serta di amalkannya dan diajarkan ke orang lain akan membentuk karakter orang yang ulul albab penuh dengan ketawadlua’n. prinsip keputusan memberikan hukuman kepada anak merupakan sifat pembelajran kepada anak untuk menjadi dewasa bukan membentuk karakter anak yang penuh dengan ketakutan dan agresif. Semakin orang tua memperhatikan pola hukuman yang diberikan kepada anaknya sesuai dengan kesalahan yang dilakukan maka sama saja dengan seorang petani yang member pupuk kepada padi. Kesimbangan keputusan dan tindakan akan membuat anak besikap lebih cepat dewasa serta penurut. Sama saja dengan padi yang dipupuk dengan kadar yang seimbang maka akan menghasilkan benih yang berkualiatas lagi merunduk (tidak menyombongkan diri).
(Mahasiswa psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta)
Pendahuluan
Analogi judul diatas merupakan sebuah refleksi harapan untuk menjadi seorang pengasuh yang mempunyai nilai pendidikan islami. Semakin padi itu dipupuk dengan teratur maka akan menghasilkan tanaman padi yang berkualitas dan semakin merunduk (menunjukan hasil bahwa padi itu sudah siap untuk dipanen). Orang tua sebagai sosialitation agen nilai-nilai karakter anak dalam keluarga merupakan pendidik utama sebelum pendidik yang lain. Tidak jarang orang tua yang gagal dalam menanamkan nilai-nilai karakter anak yang baik selalu merasakan kesedihan di masa tuanya. Maraknya pemberitaan di media-media tentang kisah seorang anak yang rela membunuh orang tuanya dan sikap seorang anak yang lari dari rumah karena selalu menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga menjadi sebuah pertanyaan yang bisa diarahkan kepada orang tua. Bagaimana pola asuh yang di terapkan pada anak?.
Pola asuh orang tua merupakan peletak dasar batu perkembangan anak. Banyak dari para pakar pendidik anak, guru, maupun orang tua lebih cenderung memilih cara pengasuhan menurut versi barat. Karakter anak akan terbentuk sesuai dengan siapa dan dimana dia dibesarkan. Versi barat mengajarkan kepada umat manusia untuk mendidik anak agar mampu menjadi orang yang hanya bisa menjawab tantangan krisis hidup. Dengan demikian berbagai usaha untuk mewujudkan semua harapan itu dilakukan oleh orang tua seperti memaksa anak untuk bisa dalam suatu bidang tertentu, dan bahkan menghukum anak dengan hukuman yang berat jika tidak mampu mencapai semua yang diinginkan oleh orang tua. Hasil pola asuh tersebut akan mudah membuat kehidupan berkeluarga menjadi tidak harmonis. Misalnya banyak anak yang menjadi penakut, rendah diri, dan merasa kurang dihargai.
Imam al ghazali mengungkapkan, “bila anak sudah tidak dipedulikan sejak awal masa berkembangnya, maka karakter yang terbentuk adalah akhlak dan etika yang buruk, anak yang cenderung penakut, dan merasa dirinya kurang berharga. Semua itu bisa dihindari dengan sebaik-baiknya,”. Tentunya hukuman yang diberikan kepada anak hendaknya berisifat memupuk kepribadiannya untuk berkembang bukan untuk menjatuhkan anak. Dengan demikian, mendidik anak dengan hukuman berarti memberikan pengajaran kepada anak supaya kepribadiannya bisa tumbuh cepat dewasa. Hal ini menunjukan dibutuhkan pemahaman bagi orang tua untuk memahami sifat-sifat hukuman yang layak diberikan sesuai dengan tingkat pelanggaran dan perangai dasar anak.
Hukuman sebagai pendidikan
Jean Piaget pakar psikologi perkembangan banyak memerhatikan perkembangan anak-anak hingga usia tujuh tahun. Ia memandang bahwa pada setiap anak terdapat dua factor yaitu pengenalan dan perasaan. Keduanya berguna untuk penyesuaian ruhani terhadap lingkungan. Katanya pula bahwa penyesuaian ruhani anak terdapat fungsi pikiran. Aspek ruhani yang mengikat fungsi pikir dan lingkungan sekitar mendidik setiap anak peka terhadap setiap setimulus yang diterimanya dari luar. Seperti ungkapan imam al ghazali bahwa hati anak yang masih suci ibarat permata, masih lugu dan polos, sama sekali belum terdapat ukiran dan lukisan. Hati seorang anak masih sangat mungkin untuk dibentuk dan diukur, dan akan cenderung terhadap apa saja yang dibiasakan padanya. Apabila hatinya diajarkan dan dibiasakan dengan kebaikan, maka dia akan tumbuh bersama kebaikan tersebut, dan niscaya dia akan hidup bahagia baik didunia dan akhirat.”
Keluguan dan kepolosan anak hendaknya menjadikan orang tua untuk berpikir terlebih dahulu ketika akan memberikan hukuman. Dunia anak amat sangat berbeda dengan dunia orang dewasa. Setiap perilaku yang dilakukan anak merupakan wujud dari rasa keinginan tahu atau sikap penasaran terhadap sesuatu. Oleh karena itu merupakan sebuah kewajaran jika seorang anak selalu mengalami kesalahan dalam proses pembelajaran hidupnya. Demikian juga para orang tua seharusnya tidak berpikir menyamakan permasalahan yang dilakukan oleh anak dengan permasalahan dalam hidupnya. Jika dipikir dengan pikiran yang tenang setiap kesalahan- kesalahan yang dilakukan oleh anak merupakan hal yang sepele dan itu semua bisa diatasi dengan sikap kesabaran. Oleh karena itu sikap pemberian hukum hendakanya bersifat edukasi.
Prinsip hukuman dalam pengasuhan anak menurut islam merupakan proses pendewasaan anak. Anak yang tidak mampu dikendalikan oleh orang tua, maka prinsip hukuman dapat diberlakukan kepadanya dengan mengacu pada kriteria kesalahan yang dilakukan anak. Ulama ahli fiqih memberikan penjelasan tentang hukuman pada anak, “ hukuman anak bersifat mendidik, bukan atas dasar kriminalitas, karena seorang anak masih dalam proses pendidikan. Anak kecil yang masih berpikir jernih dan belom mukalaf bukanlah anak yang layak melakukan kriminalitas. Akan tetapi hanyalah kesalahan dalam mengambil sikap. Prinsip memberi hukuman kepada anak merupakan langkah yang paling terkahir setelah melalui beberapa serangkaian diantaranya melalui komunikasi - kelemah lembutan,- nasehat baru sikap yang terakhir adalah pemberian hukuman. Hukuman diberikan sebagai penegasan kepada anak bahwa persoalan yang di hadapi adalah serius.
Hukuman Non Fisik dan Fisik
Pemeberian hukuman non fisik merupakan hukuman yang memberikan pengertian kepada anak dalam taraf afektif. Imam Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan, bahwa ada tiga fase interaksi dengan anak, “ Tujuh tahun pertama, perlakukan ia seperti raja. Tujuh tahun kedua perlakukanlah ia seperti tawanan perang dalam kedisiplinan, tujuh tahun ketiga dan seterusnya perlakukanlah ia seperti sahabat dan teman. Para pakar psikologi perkembangan juga mernyimpulkan bahwa usia 7-12 tahun itu usia emas, golden age. Saat itulah fase pembentukan sikap, perilaku dan penanaman nilai yang penting. Tauladan kita Rosulullah, memerintahkan anak untuk diajarkan sholat usia 7 tahun. Karena 0-7 tahun itu masa pembentukan tumbuh kembang otak menyerap informasi. Lalu mulai 7 tahun berikutnya penanaman sikap disiplin.
Pada tujuh tahun pertama merupakan masa awal pembentukan karakter anak. Setiap torehan sikap yang dilakukan oleh orang tua kepada anak akan mudah diinterpretasikan olehnya. Oleh karena itu pola pengasuhan diibaratkan seperti perlakuan seseorang kepada raja. Pemberian hukuman dalam tahap ini bisa dibisa diberikan lewat.
- Dengan cara lembah lembut pada anak dan kasih sayang.
Sikap lemah lembut dan kasih sayang pada anak akan mudah membekas dalam dirinya karena masa-masa anak merupakan masa periodesasi belajar dengan modeling (peniruan dengan orang lain). Seorang anak di awal usia tujuh tahun sangat membutuhkan dekapan rasa kasih sayang dari orang tua. jika anak dibiasakan dengan sikap orang tua yang agresif, maka hal itu sama saja mendidik mereka untuk bersikap agresif.
- Dengan cara mendiamkan
Pemberian hukuman dengan cara mendiamkan merupakan metode yang di ajarkan rosululloh kepada umatnya ketika ada diantara salah satu saudara yang melakukan kesalahan. Dalam hal ini sikap mendiamkan anak tidak lebih dari tiga hari. Akan tetapi dapat dilakukan oleh orang tua dengan dua cara yaitu mendiamkan anak dengan beberapa jam saja dan segera merespon anak jika telah mengakui kesalahannya. Mendiamkan diri dengan anak bertujuan untuk melatih kedewasaan anak dalam berpikir tentang apa yang telah dilakukannya.
- Mengisolasikan anak
Para pakar pendidikan berpendapat bahwa hukuman dengan mengisolasikan anak yang berumur tiga hingga enam tahun sangat membantu proses pendewasaan anak. Dalam prinsip mengisolasikan anak hendaknya anak di isolasikan dalam ruangan yang tidak tertutup, tidak gelap dan diberikan kebebasan untuk bergerak. Hal ini dikarenakan kondisi anak dalam keadaan emosi yang tidak menentu sehingga anak akan mudah memunculkan sikap kebencian kepada orang tua.
Hukuman diatas merupakan bagian dari sifat-sifat hukuman yang bersifat non fisik yang mendorong si anak untuk mampu berfikir tentang kesalahannya sendiri. Dengan adanya proses kesadaran yang ada pada anak, maka anak akan cepat tumbuh dewasa dalam menyikapi setiap persoalan hidupnya. Proses penyadaran diri anak merupakan awal dari sebuah keputusan yang akan diambil oleh orang tua dalam proses pemupukan karakter anak.
Orang tua yang selalu menginginkan perubahan pada anak secara instan akan cenderung berakibat pada pemberian hukuman fisik pada anak. Dalam islam pemberian hukuman fisik kepada anak dilakukan setelah melalui beberapa tahap. Tahapan yang pertama adalah proses pemahaman orang tua tentang kesalahan anak. Pada tahap ini orang tua akan menyadari bahwa setiap kesalahan yang dilakukan oleh anak merupakan kesalahan persepsi dari anak dalam mengambil suatu keputusan. Karena seorang anak dalam di awal hidupnya merupakan proses pembelajaran. Kemudian tahap kedua adalah pemberian hukuman fisik kepada anak.
Proses pemberian hukuman fisik melalui pemahaman orang tua akan mengajarkan kepada orang tua untuk tidak cepat memberikan hukuman kepada anak. Kondisi emosi anak yang mudah diekspresikan dengan lunak membuat proses peniruan terhadapa reaksi yang diberikan dari orang tua mudah dipelajari. Ibnu khaldun dalam moqodimahnya menetapkan, bahwa sikap keras yang berelebihan terhadap anak berarti membiasakan anak bersifat penakut, lemah, dan lari dari tugas-tugas tanggung jawab di dunia ini. Hal ini juga diperkuat oleh pakar pendidikan islam seperti Ibnu Sina dan al-Abdari, mereka semua malarang menggunakan metode kekerasan atau memukul setelah pemberian peringatan dilakukan terlebih dahulu . phukuman fisik ataiu kekerasan hanya boleh dilakukan kecuali dalam keadaan darurat sebagai penegasan agar anak tidak banyak meremehkan.
Perlu diingat kembali, bahwa hukuman yang diberikan anak hendaknya disesuaikan dengan kesalahan yang dilakukan. Terjadinya kesenjangan antara pemberian hukuman dengan kesalahan yang dilakukan oleh anak akan berakibat pada sikap ketidakadilan orang tua terhadap anak sehingga anak akan mudah melarikan diri dari orang tua dan mengaggapnya sebagai sebuah”monster”yang menakutkan. Namun juga sebaliknya, pemberian hukuman yang nilainya lebih ringan dari kesalahan yang dilakukan anak akan berakibat pada sikap anak meremehkan orang tua. Oleh karena itu dibutuhkan pemahaman kesalahan dalam memutuskan hukuman sehingga terjadi keseimbangan dalam pola asuh.
Islam memberikan solusi kepada para orang tua maupun pendidik untuk menerapkan hukuman fisik pada anak. Sesuai dengan sabda Rosululloh saw bahwasanya anak yang berhak mendapatkan hukuman adalah anak yang sudah mencapai tahap tujuh tahun kedua dari usianya. Ali bin abi thalib menegaskan bahwa pada tahap ini pola didik yang diberikan oleh orang tua layaknya seperti mendidik calon-calon tentara. Namun prinisip pendidikan yang diberikan tidak sama seperti para tentara yang lebih cenderung bersifat keras dan memaksa.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian hukuman pukul adalah.
1. Memukul anak tidak lebih dari sepuluh kali sebagaimana Rosululloh mengajarkan kita, “hendaklah kalian tidak memukul sesorang lebih dari sepuluh kali pukulan kecuali dalam hukuman yang telah ditetapkan oleh rosulullah.
2. Memukul dengan tidak menggunakan tenaga penuh, dengan alat yang tidak keras dan pada bagian-bagian terntentu. Para ulama sepakat bahwa pukulan yang diberikan kepada anak hendaknya tidak membuat rasa sakit dan tidak dilakukan disekitar wajah, kelamin, kepala, tulang punggung dan bokong. Pukulan bisa diarahkan pada kaki anak atao telapak tangan anak yang ukran kulitany tebal sehingga tidak merasakan rasa sakit.
3. Memukul pada tempat yang berbeda. Hal ini dilakukan agar anak tidak merasakan sakit.
4. Tidak memukul anak didepan orang banyak dan tidak disertai dengan amarah sehingga sikap harga diri anak masih bisa dirasakan oleh anak. Karena anak saat usia tersebut menunjukan sikap perasaan malu yang besar dihadapan orang-orang banayak.
Kesimpulan
Anak merupakan saham terbesar bagi orang tua baik di dunia maupun dalam sisi akhirat. Di dunia anak akan menjadi penghibur dan penentram hati orang tua demikian juga dalam sisi akhirat, anak sebagai tabungan orang tua untuk memberikan do’a kepadanya ketika mereka sudah meninggal dunia. Oleh karena itu pola asuh yang diberikan oleh orang tua sangat menentukan perkembangan karakter anak. Pada umunya masyarkat banyak yang salah memberikan pengasuhan pada anak dari segi keputusan dalam menghukum anak anak yang melakukan kesalahan. Jika anak dipupuk dengan nilai-nilai yang cenderung memaksa kehedak dan hidup dalam lingkungan keluarga yang tidak menentu rasa keharmonisan dalam rumah tangganya, maka akan melahirkan karakter anak yang tidak bisa member kenteraman hati orang tua. Bahkan sering kita jumpai statement dari orang-orang sekitar bahwa anak yang gagal dalam proses pemupukan karakter dianggap sebagai anak sampah (nauduzbillah) lalu siapakah yang akan disalahakan?.
Islam mengajarkan pada umatnya untuk sebaik-baik memberikan pelajaran kepada anak karena disitu terdapat hasil yang akan memberikan efek kepada orang-orang disekitarnya. Pola pengasuhan yang diajarkan oleh islam merupakan pola pengasuhan yang bersifat edukasi serta memupuk perkembangan karakter anak. Anak yang dipupuk dengan ajaran-ajaran islan serta di amalkannya dan diajarkan ke orang lain akan membentuk karakter orang yang ulul albab penuh dengan ketawadlua’n. prinsip keputusan memberikan hukuman kepada anak merupakan sifat pembelajran kepada anak untuk menjadi dewasa bukan membentuk karakter anak yang penuh dengan ketakutan dan agresif. Semakin orang tua memperhatikan pola hukuman yang diberikan kepada anaknya sesuai dengan kesalahan yang dilakukan maka sama saja dengan seorang petani yang member pupuk kepada padi. Kesimbangan keputusan dan tindakan akan membuat anak besikap lebih cepat dewasa serta penurut. Sama saja dengan padi yang dipupuk dengan kadar yang seimbang maka akan menghasilkan benih yang berkualiatas lagi merunduk (tidak menyombongkan diri).
0 komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda dan Silahkan Tinggalkan Komentar