http://www.insistnet.com/
Pada bulan Desember 2008 lalu, INSISTS bekerjasama dengan FISIP-UI menggelar sebuah seminar bertajuk “Dewesternisasi Pengetahuan dan Islamisasi Pengetahuan Kontemporer” bertempat di kampus UI Depok. Tampil sebagai pembicara adalah Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud, Prof. Dr. Mulyadi Kartanegara, dan Dr. Khalif Muammar. Ketika itulah, Prof. Mulyadhi, guru besar di UIN Jakarta, memaparkan makalah berjudul “Kritik Terhadap Psikologi Modern”.
Selama ini, Psikologi didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang menyelidiki gejala-gejala dan kegiatan-kegiatan jiwa (Kamus Bahasa Indonesia, 2008 atau “the scientific study of the mind and how it influences behaviour” (Oxford Advanced Genie). Pada awalnya pembahasan mengenai jiwa dilakukan pada masa pra-modern, secara spesifik pada masa Yunani Kuno. Jiwa dibahas sebagai sesuatu yang bukan bertempat material dan sesuatu yang abadi. Pembahasan demikian pun dikontraskan dengan deskripsi tentang tubuh sebagai sesuatu yang material dan tidak abadi. Pandangan seperti ini dapat dikenali dari tokoh seperti Phytagoras dan Plato (lihat karya Bertrand Russel Sejarah Filsafat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosial-Politik dari Zaman Kuno hingga Sekarang).
Menurut Mulyadhi, memasuki abad ke-20, psikologi memisahkan diri dari filsafat dan menjadi cabang tersendiri dengan menerapkan metode ilmiah empiris sebagai syarat bagi diterimanya psikologi sebagai sains modern. Di masa inilah mulai bermunculan pelbagai aliran, seperti aliran biologis (neurobiologis), aliran behaviorisme, aliran psikoanalisis, aliran kognitif, dan aliran humanis.
Dalam perkembangannya kemudian, bermunculan bermacam kritik. Dengan meletakkan basis psikologi biologis pada otak, misalnya, maka psikologi tidak lagi berbasis jiwa, melainkan berbasis otak. Pandangan materialistik semacam ini, menurut Mulyadhi, merupakan aliran mainstream dari psikologi. Aliran behaviorisme dan psikoanalisis pun memiliki masalah karena psikologi menjadi dipahami dalam arti biologi, dengan terma-terma fisika. Huston Smith (2003: 233) mengatakan bahwa psikologi kognitif mendorong orang kembali pada materialisme mental. Bahkan, lebih jauh lagi, kembali dengan penuh semangat menggebu-gebu yang nyaris tak terkendali.
Jika pandangan psikologi adalah berbasis pada materi, simpul Mulyadhi Kartanegara, maka disiplin ilmu ini telah melepaskan objek paling inti selama ini dari psikologi, yaitu jiwa. Padahal dari sinilah psikologi mendapatkan namanya (psyche). Berangkat dari kesimpulan Prof. Mulyadhi tersebut, bisa dikatakan, bahwa Psikologi modern adalah “Ilmu Jiwa minus Jiwa” itu sendiri.
Mengapa bisa begitu? Akar masalahnya adalah sekularisasi terhadap jiwa, yang akhirnya mengakibatkan penafian keabadian jiwa dan kemudian penafian Hari Akhir. Dalam bukunya, Prolegomena to the Metaphysics of Islam an Exposition of the Fundamental Elements of The Worldview of Islam Sekularisasi, (2001), Prof. Naquib al-Attas, mendefinisikan Sekularisasi sebagai “pelepasan manusia pertama kali dari kontrol agama kemudian dari kontrol metafisika dari rasio dan bahasanya”.
Dengan berbasis kepada materi dan pensekularan jiwa, maka jiwa – yang bernilai tinggi -- telah ditempatkan lebih rendah, direduksi menjadi sekadar efek dari materi (epifenomenal). Apa yang diungkapkan Profesor Mulyadhi menunjukkan hal tersebut. Jiwa yang sebelumnya dipandang lebih tinggi derajatnya dari tubuh, tidak bersifat materi, dan bersifat abadi, diletakkan dalam martabat yang lebih rendah, yang 180 derajat berlawanan dengan hakikat yang sebenarnya.
Berangkat dari fakta penafian “jiwa” dalam Ilmu Jiwa modern, maka muncullah tata-nilai yang serba meterialistik. Gangguan jiwa, misalnya, hanya dikaitkan dengan soal “gangguan syaraf dan gangguan otak”. Padahal, dalam pandangan Islam, orang yang cinta dunia (hubbud-dunya) bisa dikatakan sebagai orang yang “terganggu jiwanya”. Karena itu, adalah tugas para ilmuwan Muslim untuk meletakkan “jiwa manusia” pada tempat yang telah ditentukan oleh Sang Pencipta, Allah SWT. Wallahu A’lam. (***)
Selama ini, Psikologi didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang menyelidiki gejala-gejala dan kegiatan-kegiatan jiwa (Kamus Bahasa Indonesia, 2008 atau “the scientific study of the mind and how it influences behaviour” (Oxford Advanced Genie). Pada awalnya pembahasan mengenai jiwa dilakukan pada masa pra-modern, secara spesifik pada masa Yunani Kuno. Jiwa dibahas sebagai sesuatu yang bukan bertempat material dan sesuatu yang abadi. Pembahasan demikian pun dikontraskan dengan deskripsi tentang tubuh sebagai sesuatu yang material dan tidak abadi. Pandangan seperti ini dapat dikenali dari tokoh seperti Phytagoras dan Plato (lihat karya Bertrand Russel Sejarah Filsafat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosial-Politik dari Zaman Kuno hingga Sekarang).
Menurut Mulyadhi, memasuki abad ke-20, psikologi memisahkan diri dari filsafat dan menjadi cabang tersendiri dengan menerapkan metode ilmiah empiris sebagai syarat bagi diterimanya psikologi sebagai sains modern. Di masa inilah mulai bermunculan pelbagai aliran, seperti aliran biologis (neurobiologis), aliran behaviorisme, aliran psikoanalisis, aliran kognitif, dan aliran humanis.
Dalam perkembangannya kemudian, bermunculan bermacam kritik. Dengan meletakkan basis psikologi biologis pada otak, misalnya, maka psikologi tidak lagi berbasis jiwa, melainkan berbasis otak. Pandangan materialistik semacam ini, menurut Mulyadhi, merupakan aliran mainstream dari psikologi. Aliran behaviorisme dan psikoanalisis pun memiliki masalah karena psikologi menjadi dipahami dalam arti biologi, dengan terma-terma fisika. Huston Smith (2003: 233) mengatakan bahwa psikologi kognitif mendorong orang kembali pada materialisme mental. Bahkan, lebih jauh lagi, kembali dengan penuh semangat menggebu-gebu yang nyaris tak terkendali.
Jika pandangan psikologi adalah berbasis pada materi, simpul Mulyadhi Kartanegara, maka disiplin ilmu ini telah melepaskan objek paling inti selama ini dari psikologi, yaitu jiwa. Padahal dari sinilah psikologi mendapatkan namanya (psyche). Berangkat dari kesimpulan Prof. Mulyadhi tersebut, bisa dikatakan, bahwa Psikologi modern adalah “Ilmu Jiwa minus Jiwa” itu sendiri.
Mengapa bisa begitu? Akar masalahnya adalah sekularisasi terhadap jiwa, yang akhirnya mengakibatkan penafian keabadian jiwa dan kemudian penafian Hari Akhir. Dalam bukunya, Prolegomena to the Metaphysics of Islam an Exposition of the Fundamental Elements of The Worldview of Islam Sekularisasi, (2001), Prof. Naquib al-Attas, mendefinisikan Sekularisasi sebagai “pelepasan manusia pertama kali dari kontrol agama kemudian dari kontrol metafisika dari rasio dan bahasanya”.
Dengan berbasis kepada materi dan pensekularan jiwa, maka jiwa – yang bernilai tinggi -- telah ditempatkan lebih rendah, direduksi menjadi sekadar efek dari materi (epifenomenal). Apa yang diungkapkan Profesor Mulyadhi menunjukkan hal tersebut. Jiwa yang sebelumnya dipandang lebih tinggi derajatnya dari tubuh, tidak bersifat materi, dan bersifat abadi, diletakkan dalam martabat yang lebih rendah, yang 180 derajat berlawanan dengan hakikat yang sebenarnya.
Berangkat dari fakta penafian “jiwa” dalam Ilmu Jiwa modern, maka muncullah tata-nilai yang serba meterialistik. Gangguan jiwa, misalnya, hanya dikaitkan dengan soal “gangguan syaraf dan gangguan otak”. Padahal, dalam pandangan Islam, orang yang cinta dunia (hubbud-dunya) bisa dikatakan sebagai orang yang “terganggu jiwanya”. Karena itu, adalah tugas para ilmuwan Muslim untuk meletakkan “jiwa manusia” pada tempat yang telah ditentukan oleh Sang Pencipta, Allah SWT. Wallahu A’lam. (***)
Penulis: Khayrurrijal
(Pegiat Komunitas Nuun, FIB-UI)
(Pegiat Komunitas Nuun, FIB-UI)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda dan Silahkan Tinggalkan Komentar